Nasi: Simbol Ketahanan atau Penjajahan Pangan di Indonesia Timur?

Di balik dominasi nasi sebagai pangan pokok nasional, tersimpan kisah terpinggirkannya pangan lokal di wilayah Indonesia Timur. Dari sagu hingga ubi, warisan kuliner dan kearifan lokal kini terancam oleh homogenisasi diet dan kebijakan sentralistik. Artikel ini mengajak Anda menelusuri jejak gastro-kolonialisme dan pentingnya mengembalikan kedaulatan pangan ke akar budaya. Baca selengkapnya di timurnesia.com dan dukung kebangkitan pangan lokal Nusantara.

BUDAYA

Bung Kepi Lewer

6/5/20253 min read

a man riding a skateboard down the side of a ramp
a man riding a skateboard down the side of a ramp

Halo sahabat jongers,

Selamat datang kembali di ruang eksplorasi sejarah dan budaya Nusantara! Kali ini, kita akan menyelami sisi lain dari kuliner yang mungkin tak banyak orang perhatikan: gastro-kolonialisme nasi. Khususnya di wilayah Indonesia Timur, di mana nasi, si bulir putih yang kita anggap identitas bangsa, ternyata diam-diam menggeser eksistensi pangan lokal. Mari kita telusuri kisahnya bersama!

Ketika Nasi Menjadi Raja, Pangan Lokal Pun Tergusur

Di benak sebagian besar masyarakat Indonesia, "belum makan kalau belum makan nasi" adalah sebuah mantra yang tak terbantahkan. Nasi telah menjadi simbol ketahanan pangan dan identitas kuliner yang kuat. Namun, bagi saudara-saudari kita di Indonesia Timur, narasi ini memiliki nuansa yang berbeda. Di sana, dominasi nasi justru menjadi potret gastro-kolonialisme, sebuah bentuk penjajahan tak kasat mata yang mengikis kedaulatan pangan dan kekayaan budaya lokal.

Jauh sebelum beras merajalela, wilayah-wilayah seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur adalah surga bagi sagu, umbi-umbian seperti ubi jalar, singkong, keladi, hingga jagung. Pangan-pangan ini bukan sekadar pengisi perut; mereka adalah bagian tak terpisahkan dari ritual adat, sistem pertanian yang adaptif, dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Sagu, misalnya, adalah "emas hijau" yang menopang kehidupan masyarakat di hutan-hutan basah Papua dan Maluku selama ribuan tahun, dengan teknik pengolahan yang lestari dan minim jejak karbon.

Namun, sejak era kolonial, dan berlanjut dengan berbagai kebijakan pembangunan pascakemerdekaan, nasi secara sistematis dipromosikan sebagai pangan pokok. Program pemerintah, bantuan pangan, hingga orientasi pembangunan pertanian cenderung berpusat pada beras. Perlahan tapi pasti, masyarakat di Indonesia Timur "dididik" untuk beralih ke nasi, meninggalkan warisan pangan mereka.

Jejak Luka Akibat Gastro-Kolonialisme Nasi

Pergeseran diet yang dipaksakan ini membawa dampak serius yang membayangi ketahanan dan keberlanjutan pangan di Indonesia Timur:

Terjerat Jerat Ketergantungan: Ketika nasi menjadi satu-satunya pilihan, wilayah ini menjadi sangat bergantung pada pasokan dari luar, terutama dari Jawa atau Sulawesi Selatan. Ini bagai bom waktu. Ketika terjadi gangguan distribusi, misalnya akibat bencana alam atau gejolak harga, krisis pangan tak terelakkan. Ironisnya, cadangan pangan lokal yang dulunya menjadi penyelamat kini sudah langka.

Mengikis Keanekaragaman: Orientasi tunggal pada nasi secara drastis mengurangi keanekaragaman pangan lokal. Banyak varietas sagu, ubi, atau jagung yang sangat adaptif terhadap kondisi lokal dan memiliki nilai gizi tinggi, kini terancam punah. Ini adalah kehilangan yang tak tergantikan bagi biodiversitas pangan kita.

Melunturkan Kearifan Lokal: Hilangnya pangan lokal berarti hilangnya pula pengetahuan turun-temurun tentang cara menanam, mengolah, dan menyajikan makanan tersebut. Generasi muda semakin jauh dari akar budaya dan kuliner nenek moyang mereka.

Tekanan Lingkungan yang Tak Terlihat: Budidaya padi sawah seringkali membutuhkan irigasi besar dan tidak selalu sesuai dengan kondisi geografis di sebagian besar Indonesia Timur yang didominasi lahan kering atau hutan sagu. Alih fungsi lahan untuk sawah dapat memicu masalah ekologis baru.

Ancaman Gizi yang Menyelimuti: Meski nasi kaya karbohidrat, homogenisasi diet ini bisa berdampak pada kesehatan. Banyak pangan lokal menawarkan profil gizi yang lebih lengkap atau unik. Diversifikasi diet adalah kunci untuk memastikan asupan gizi yang optimal.

Saatnya Kembali ke Akar: Membangun Kedaulatan Pangan Lokal

Untungnya, kesadaran akan bahaya gastro-kolonialisme nasi mulai menguat. Berbagai komunitas dan gerakan kedaulatan pangan di Indonesia Timur tak tinggal diam. Mereka berupaya keras menghidupkan kembali pangan-pangan lokal: dari edukasi tentang pentingnya sagu, ubi, atau jagung, pengembangan varietas unggul, hingga promosi kuliner berbasis pangan lokal yang lezat dan bergizi di berbagai acara.

Ini bukan tentang menolak nasi secara total. Ini tentang mencapai keseimbangan. Ini tentang mengakui bahwa Indonesia adalah negeri yang diberkahi dengan kekayaan pangan yang tak terhingga. Masyarakat di Indonesia Timur memiliki hak penuh untuk menjadi penentu di atas tanah mereka sendiri, dengan pangan yang mereka tanam, mereka olah, dan yang sesuai dengan budaya serta lingkungan mereka. Mengembalikan pangan lokal adalah langkah fundamental menuju kedaulatan, ketahanan, dan penegasan identitas.

Semoga dengan memahami lebih dalam kisah gastro-kolonialisme nasi ini, kita semakin menghargai kekayaan pangan Nusantara dan mendukung upaya-upaya untuk mengembalikan kejayaan pangan lokal di seluruh pelosok Indonesia, terutama di wilayah Timur.

Terima kasih telah bergabung dalam penjelajahan ini, sahabat jongers. Sampai jumpa di artikel menarik berikutnya di timurnesia.com! Tabe