Matel: Di Antara Kerasnya Realitas Lapangan dan Biasnya Regulasi

Di balik pertumbuhan kredit konsumtif—motor, mobil, KPR, hingga alat berat—ada satu mata rantai yang kerap disalahpahami publik: Matel (Mata Elang) atau Debt Collector. Mereka bukan sekadar “penagih di jalan”, melainkan bagian dari sistem manajemen risiko dalam industri keuangan yang lahir dari realitas kredit macet.

POLITIKBUDAYA

Roi Lewar

12/13/20254 min read

Matel, antara keras nya Realitas dan bias nya Regulasi.

Matel atau Mata Elang kadang juga disebut Debt Collector ini adalah sebuah mata rantai dalam suatu bisnis yang berbasis Risk Manajemen atau Manajemen resiko. Mata Elang ini dulu nya dalam profesi keuangan disebut Skip Tracer yang tugas nya mencari semua aset perbankan atau Finance yg sudah hilang atau dihilangkan. Ini dimulai dari kemudahan memperoleh kredit, berupa uang, motor, mobil, alat berat dll dari perusahaan pembiayaan atau finance dan perbankan kepada debitur. Cepat atau lama akan berakibat pada kredit macet. Sekalipun sudah ada regulasi dari BI dan OJK yg mengatur prinsip kehati-hatian atau prudent, seperti DBR, negatif check list BI, release SID/SLIK, namun persaingan dalam bisnis Consumer atau Ritel membuat selalu ada resiko macet. Tidak ketat nya analisa kredit pun menjadi faktor. Perusahaan Finance dan Bank kadang main gampang kasih kredit ke debitur..

Begitu macet pertama ditangani Inhouse Finance/Bank. Lalu jika macet 2-3 bulan perusahaan kirim Debt Colector Internal Masih macet lebih 3 bulan kirim lagi akun/tagihan itu ke pihak ketiga yakni Agency External. Jika tidak ketemu, kabur atau macet baru akun disayembarakan. Ujungnya para Matel turun ke jalan. Dengan modal HP yg isinya ada aplikasi berbayar maka para Matel akan cek plat nomor di jalan raya dan cek di list yg ada HP lalu kejar dan ambil motor/mobil nya lalu serahkan ke Finance atau Bank. Para Matel baru dapat fee atas kerja keras mereka. Mereka kadang bergabung dengan Agency, malah ada juga yg solo karir. Mestinya perusahaan pembiayaan harus punya tanggung jawab. Sekalipun ada perjanjian antara Finance/Bank dan Pihak Ketiga, namun jika ada resiko di lapangan malah menjadi tanggung jawab para Kolektor. Dari prinsip kehati-hatian itu juga pemerintah sudah buat aturan/UU terkait jaminan yakni Fiducia untuk jaminan bergerak seperti motor, mobil, alat berat serta jaminan Hak Tanggungan untuk harta tidak bergerak seperti rumah/KPR dan tanah. Harus dibuat Akta Fidusia atau Hak Tanggungan dihadapan notaris. Maksud nya agar tidak serta merta jaminan tsb langsung diambil oleh kreditur.

Harus ada tahapan, dari Surat Peringatan 1-2-3, pra lelang hingga pelelangan di Balai Lelang negara di bawah Dirjen Lelang dan Piutang Negara Kemkeu. Ini juga harus diawasi. Debitur banyak yg tidak paham, banyak juga yang tidak baca, padahal kalo semua dibaca dan dipahami maka akan menurunkan resiko main paksa di jalan. Perusahaan baik Finance maupun Perbankan juga sering tidak kasih edukasi. Pihak internal main telpon dg ancaman, kadang dgn nada teror. Tingkat persaingan antar bank/finance juga ketatnya likuditas berupa aruran DLQ atau NPL membuat finance dan bank tidak serius urus hal begini. Pengawasan dari OJK juga kurang maksimal. OJK sudah ada di setiap ibu kota propinsi, tapi sistem nya suka lelet, jika dihubungi by phone atau aplikasi. Masyarakat juga malas dan jarang mengadu ke OJK jika ada masalah dg kreditur, malah debitur lebih sering ke YLKI. Akibat nya banyak bank asing tutup Unit Consumer Banking nya. Malah sekarang Pinjol dengan plafon rendah dan tenor rendah lah yg banyak menawarkan kredit ke masyarakat. Kembali ke Matel. Ini juga sebuah lapangan kerja, sebuah profesi dalam dunia keuangan. Malah OJK sudah buat uji lisensi sertifikasi untuk para Debt Colector dan Matel. Artinya mereka juga seorang professional. Untuk jadi DC/Matel butuh nyali dan kerja keras dalam suasana kebatinan masyarakat yg punya pandangan miring ke DC atau Matel.

Sudah banyak kasus kekerasan dan main paksa. Artinya tidak hanya bilang kalau punya utang itu harus bayar saja, tapi juga butuh pemahaman dan harus ada komunikasi yang intens antara dua belah pihak. Jangan main kuasa. Polisi juga mesti nya harus hadir sejak awal. Karena dalam pelaksanaan sudah ada MOU antara Kepolisian RI dengan perusahaan finance/perbankan terkait urusan Fiducia dan Hak Tanggungan. Jangan sudah ada ekes dan benturan baru polisi hadir. Acapkali debitur atau masyarakat berlindung dibalik Ormas, Ormas Pemuda, malah dalam banyak kasus aparat baik polisi dan tentara juga ikut backing. Semua serba tidak mengerti hukum. Lihat kasus Kalibata, kok bisa nya motor yg dicari Matel itu dikendarai oleh polisi lalu begitu dicegat malah teman polisi lainnya turun keroyok Matel, supaya tidak kelihatan maka mereka tetap pakai helm. Ini kan sudah kacau. Masakan mental polisi kok berani nya main keroyok, lalu akhirnya korban nya meninggal. Ini kalau tidak ditangani secara serius akan jadi perang jalanan. Bisa terjadi hukum rimba. Ekonomi kita kan sekarang juga tidak baik-baik saja. Orang butuh kerja. Maka tidak heran banyak orang kita dari Indonesia Timur yang berwatak keras dan bernyali lah yg bisa jadi Matel dan DC. Tapi para Matel dan DC juga mesti banyak baca aturan terkait SOP penanganan kredit macet. Para Perusahaan Finance/Bank juga harus tidak henti-hentinya untuk buat pembinaan dan pelatihan ke pihak ketiga/DC dan Matel secara kontinyu. Karena ini kan tanggung jawab mereka juga. Jangan lupa juga pertumbuhan ekonomi itu disumbang oleh Belanja, termasuk cicilan kredit. Semua pembiayaan dan cicilan motor/mobil/KPR juga memberi sumbangsih kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Para DC/Matel juga adalah pemberi lapangan kerja. Ekonomi bergerak maka lapangan kerja juga ada.

Jadi pemerintah harus lebih buat aturan yg lebih fleksibel. Perketat syarat mendapatkan pinjamam. Jika orang sudah nunggak hingga macet, hapus saja utangnya. Kan semua potensi pembayaran kembali akan jadi pajak bagi negara. Pajak kendaraan saja bisa dihapus kok, kenapa utang macet tidak bisa dihapus-bukukan. Dengan hapus utang, maka angka DLQ/NPL jadi normal kembali karena akan ada kredit baru atau new booking. Akibatnya cash flow jadi lancar lagi. Ini biasa dalam perbankan. Negara juga berutang kok, nnti kan direstrukturisasi, kalo tidak bisa lagi, baru para debitur macet itu masuk daftar Negative Chek List BI.